Senin, 26 November 2012

VIDDING – FREE EXPRESSION OR COPYRIGHT PIRACY?



VIDDING – FREE EXPRESSION OR COPYRIGHT PIRACY?

I.                   PENDAHULUAN
Argumen untuk pembenaran, baik secara legal maupun etika  tentang vidding meningkat seiring dengan meningkatnya praktik vidding di antara anak-anak muda maupun dewasa. Vidding adalah praktik membuat video baru, kadang-kadang disebut songvids atau fanvids di mana mengambil klip yang telah ada, biasanya dari acara TV yang populer, seri anime, atau video musik, dan menggabungkannya dengan sebuah musik.  Bentuk-bentuk baru dari dunia entertainment atau kebebasan berekspresi ini dapat dibuat ke dalam format-format yang berbeda dan dapat diakses pada komputer dan internet. Sementara hal ini berkembang dengan cepat, vidding menghadapi pertanyaan-pertanyaan secara hukum dan etika yang serius terkait dengan perlindungan hak cipta (copyright) dan kebebasan berekpresi.
Songvid yang pertama berasal dari Kandy Fong, yang menunjukkan sebuah slide show tentang pemeran Dr. Spock dalam Star Trek sering menekankan sisi setengah manusianya, dengan menyanyikan lagu Joni Mitchell pada Star Trek fan meeting di tahun 1975. Terlebih sekarang, vids sering mengumpulkan lusinan klip (potongan)-dari berbagai episode  acara TV atau film lalu diset ke dalam music. Salah satu contoh adalah band Good Charlotte yang mengedit adegan kejahatan dari serial TV CSI: New York dengan lagu bernuansa sedih karya ciptaan mereka sendiri, mengatakan mereka ingin menunjukkan sisi bahaya yang dihadapi oleh para polisi dalam tayangan tersebut.
Beberapa orang berpendapat bahwa vidding hanyalah sebuah bentuk kebebasan berekspresi. Menurut vidder Francesca Coppa, seorang Profesor di Muhlenberg College dan pengarang artikel ilmiah tentang vids mengatakan bahwa ini adalah tempat bagi kami untuk bersuara/berbicara (Internet). Dia meyakini bahwa You Tube sebagai tempat umum untuk mengungkapkan opini dan berkomunikasi. Vidder lain, Rebecca Tushnet, seorang Profesor hukum di Universitas Georgetown juga setuju bahwa vidders seharusnya tidak diperlakukan sebagai pembajak. Mereka adalah orang-orang yang merespon terhadap budaya dengan cara yang tidak komersial. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum yang terkait dengan intellectual property. Seperti, mengunduh /download musik tanpa membayar royalti ke pihak pencipta lagu dan pemegang hak cipta. Akan tetapi, Henry Jenkins, seorang akademisi terkemuka dan pengarang di budaya populer (budaya pop) memiliki pendapat yang berbeda, bahwa walaupun vidders memakai copyrighted material, akan sulit bagi artis untuk mengenali karya asli ciptaan mereka. Vidders bukan hanya mengartikan kembali arti dari apa yang dimaksud oleh produser aslinya, tetapi juga memberikan jawaban dari what-if serta menampilkan berbagai gambaran realita yang lain. Karena hanya sebagian kecil gambar video yang digunakan dan tidak ada profit yang didapatkan, maka beberapa vidders dan pengacara berpendapat bahwa vidding sebaiknya diberikan pengecualian sehubungan dengan hukum yang menyangkut copyright.
Namun, di mata hukum, vidders yang menggunakan copyrighted material, seperti klip dari adegan TV, film, dan musik, merupakan pelanggaran. Website seperti You Tube, bersikap hati-hati terhadap  copyrighted material, walaupun sudah banyak vids yang telah diunggah / upload disana.  Sebagai kebijakan, You Tube akan  menghapus materi-materi ilegal, seperti video yang mengandung copyrighted material yang tidak disetujui (approved), jika mendapat informasi adanya pelanggaran terhadap hukum yang terkait dengan copyright. Yang lain beranggapan, bagaimana jika vidders atau pengacara yang mendukung diperlakukan demikian, di mana hasil pekerjaan atau gambar asli buatan mereka dibuat dengan cara yang tidak menyenangkan. Sama seperti musisi meyakini bahwa hasil pekerjaan dan kreativitas mereka seharusnya mendapat royalti, begitu pun halnya dengan pembuat klip TV dan video.  Di luar sebagai bentuk kebebasan berkreativitas, vids dapat digunakan sebagai propaganda atau cara-cara yang dipandang sebagai fitnah atau hal yang buruk. Bagi mereka yang gambarnya dipakai menjadi obyek video tersebut mungkin akan menempuh jalur hukum, sehingga masalah etika dan hukum ini menjadi semakin meluas seiring berkembangnya vids di internet.

II.                PEMBAHASAN
1.      QUESTION :
Dengan pendekatan kriteria etika, apakah membuat dan mengunggah video-video ke internet merupakan ekspresi yang etis terhadap kebebasan seseorang untuk bersuara, atau merupakan pelanggaran terhadap intellectual properties?

ANSWER :
Dalam dunia bisnis, penting untuk mengetahui etika dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Etika merupakan sebuah konsep yang dibangun di masyarakat mengenai tindakan yang benar dan yang salah. Etika memberitahukan apakah tindakan yang kita lakukan merupakan tindakan yang bermoral atua tidak dalam dasar hubungan antar manusia, bagaimana kita berpikir dan bertindak terhadap orang lain dan bagaimana kita ingin mereka berpikir dan bertindak terhadap kita. Dalam penelitian ini, kami melakukan analisa apakah vidding termasuk tindakan yang etis atau tidak berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1.      Utilitarianism
Berdasarkan prinsip utilitarianism, suatu tindakan dikatakan etis apabila benefit lebih tinggi daripada cost. Pendekatan ini seringkali disebut pendekatan cost and benefit karena menggunakan perbandingan antara cost dan benefit dalam membuat keputusan, policy, maupun action. Cost and benefit dapat diukur secara ekonomis (diekspresikan dalam mata uang), sosial (pengaruhnya pada masyarakat luas), maupun human (biasanya menekankan pada dampak psikis dan emosi). Keterbatasan dari pendekatan utilitarianism adalah sulitnya mengukur cost dan benefit yang sifatnya intagible.
Dalam kasus vidding, dari sisi utilitiarianism dikatakan sebagai tindakan yang tidak etis. Dari sisi pebisnis (pihak yang membuat video atau musik original), dalam membuat suatu karya tentu saja dibutuhkan kreatifitas dan biaya yang tidak sedikit. Apabila intellectual propeties tersebut dimanfaatkan sebagian pihak untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan melakukan vidding, tentu saja akan merugikan para pebisnis. Benefit akan mengalir ke pelaku vidding sehingga benefit untuk pebisnis tidak maksimal.
2.      Rights
Human Rights (hak asasi manusia) merupakan salah satu pendekatan untuk menganalisa suatu tindakan etis atau tidak. Hak asasi manusia yang paling mendasar adalah hak untuk hidup, hak untuk hidup aman, kebebasan berbicara, kebebasan, dan memperoleh informasi. Dengan menolak hak asasi orang lain, suatu tindakan dapat dikatakan tidak etis. Tindakan saling menghormati merupakan esensi dari  hak asasi manusia. Menggunakan milik orang lain dapat dikatakan tidak etis apabila dalam waktu yang bersamaan kita mengganggu usaha orang lain dalam mencapai tujuan. Keterbatasan penilaian etis tidaknya suatu tindakan adalah kesulitan untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak yang saling bertentangan.
Dari pendekatan etika menggunakan hak asasi manusia, vidding dapat dinilai sebagai tindakan yang tidak etis. Pelaku vidding dapat dikatakan mengambil barang milik orang lain tanpa ijin dari pihak terkait dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Pelaku vidding dapat dikatakan tidak menghormati kepentingan orang lain karena mengganggu kepentingan pebisnis untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penjualan video atau musik.
3.      Justice
Dasar pemikiran dari pendekatan justice (keadilan) adalah pendistribusian benefit yang adil dan fair, serta didasarkan pada peraturan-peraturan yang telah disetujui. Distribusi yang adil dan fair tidak selalu berarti pendistribusian dengan jumlah yang sama.
Dalam kasus vidding, pebisnis (pihak yang membuat video atau musik original) kehilangan sebagian haknya akibat dicuri oleh pelaku vidding. Hal ini menyebabkan keadaan menjadi tidak fair dimana cost yang dikeluarkan pebisnis lebih besar daripada pelaku vidding akibat pencurian intellectual properties.
Dari hasil analisa ketiga kriteria dalam etika, dapat disimpulkan bahwa vidding merupakan pelanggaran terhadap intellectual properties. Vidding disebut tindakan yang tidak etis karena mengganggu hak orang lain  dan menyebabkan kerugian di salah satu pihak.
Tabel: Perbedaan Kriteria Penilaian Etika
Metode
Faktor Kritis
Kriteria Tindakan Etis
Batasan
Utilitarian
Benefits dibandingkan costs
Net benefits  > net costs
Sulit untuk mengukur beberapa biaya manusia dan sosial, sebagian mungkin mengabaikan hak-hak minoritas.
Rights
Menghormati hak
Hak-hak dasar manusia dihormati
Sulit untuk menyeimbangkan hak-hak yang bertentangan.
Justice
Mendistribusikan bagian secara adil
Benefits dan costs didistribusikan secara adil
Sulit untuk mengukur benefits dan costs, kurangnya kesepakatan tentang bagian yang adil.



2.      QUESTION :
Bagaimana seharusnya kita membuat batasan dalam menggunakan material yang ditemukan di internet, di samping itu masih menghormati intellectual properties dan hak royalty yang dimiliki oleh sang artis? Bagaimana seharusnya sebuah video berbeda dari yang original sehingga tidak lagi disebut sebagai plagiat?

ANSWER :
Intellectual properties merupakan suatu konsep yang mengacu pada suatu buah kreasi atau hasil pemikiran yang secara eksklusif diakui sebagai hak seseorang. Dalam industri music dan video, intellectual properties seringkali dilindungi oleh hak cipta (copyrights). Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Di Indonesia, hak cipta diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.
Seorang pemegang hak cipta memiliki hak untuk membuat salinan atau reproduksi terhadap ciptaan tersebut, mengimpor dan mengekspor ciptaan, menampilkan ciptaan di depan umum, menjual atau mengalihkan hak cipta kepada orang atau pihak lain (Wikipedia, 2012).
Perilaku vidding tentu saja melanggar hak cipta yang dimiliki oleh pembuat lagu atau musik original. Oleh karena itu, haruslah dibuat batasan-batasan terhadap kreatifitas seseorang dalam menggunakan material yang ditemukan di internet tanpa mengganggu hak cipta dan hak royalti yang dimiliki oleh pihak terkait. Tindakan vidding tergolong tidak melakukan pelanggaran hak cipta apabila:
·         Disertakan sumber dari mana video tersebut diambil.
·         Ada izin yang diberikan (baik secara langsung atau tidak langsung) dari author.
·         Tidak ada pihak merasa yang dirugikan atau keberatan apabila karya ditampilkan untuk umum.
Namun  kami menyarankan untuk membuat video atau musik yang sama sekali baru (original) atau tidak melakukan tindakan plagiat, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak cipta.

3.      QUESTION :
Apakah seharusnya ada tempat dalam dunia teknologi ini dimana kita bebas berekspresi secara bebas dalam forum publik tanpa ada pembatasan dan pengawasan yang ketat? Apakah seharusnya dapat masyarakat dapat mengatakan atau mempertunjukkan apa saja yang mereka harapkan tanpa batasan? Jika ya, batasan apa yang harus ditetapkan dan siapa yang harus menetapkan batasan tersebut?

ANSWER :
Pada saat ini, internet merupakan area untuk mengekspresikan diri secara bebas tanpa pengawasan. Semakin bergesernya norma dan nilai yang penting dalam masyarakat menyebabkan penyalahgunaan kebebasan. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan pengawasan pada kegiatan-kegiatan tertentu di dunia maya agar tidak terjadi kebebasan yang kebablasan sehingga dapat mengarah ke tindak kejahatan dan dapat merugikan orang lain. Bentuk pembatasan yang dapat dilakukan antara lain dengan kebijakan atau regulasi dari pemerintah (policy), penegakan nilai, etika, norma-norma yang berlaku di masyarakat, pengawasan dari pihak-pihak yang bersangkutan seperti YouTube, produsen musik dan video, dan lain sebagainya.





III. KESIMPULAN
Vidding adalah bentuk kreativitas dalam menggabungkan video & original music menjadi sesuatu yang baru. Video dan musik tersebut bahkan bisa diambil dari yang sudah memiliki copyright.
Tidak ada yang salah dalam berkreativitas selama tindakan tersebut tidak merugikan banyak pihak, terutama dari pihak yang bersangkutan (dalam hal ini pemilik video atau original music dan tercopyright). Jadi bisa dikatakan tempat untuk “free expression” namun tetap harus ada Undang-undang yang membatasi (copyright, patent, etc), agar kebebasan tersebut dapat tetap terkendali, dan tidak mengarah ke tindakan negatif.